Sabtu, 08 Oktober 2011

Kupinang Engkau dengan Al Quran

Tepat adzan 'Isya aku sampai di halaman masjid di sebuah komplek perumahan. Usai memarkirkan sepeda motorku di halaman masjid itu, aku bergegas mengambil air wudhu lalu sholat berjama'ah. Selepas sholat 'isya dan ba'diyahnya, aku kembali menuju halaman masjid tempat aku memarkirkan sepeda motorku. Ada rasa yang mulai tak menentu kala itu. Karena setelah ini aku akan mengunjungi rumah seseorang. Seseorang yang telah dipilihkan oleh murobbiku, Ust. Utsman. Seseorang itu adalah Fathiyya. Seorang akhwat lugu nan mempesona serta baik akhlaqnya. Ia tak banyak bicara dan pandangannya tertunduk jika ada ikhwan disekitarnya. Pakaiannya sederhana, tetapi jilbabnya istimewa. Hampir separuh bagian atas tubuhnya tertutup oleh balutan jilbanya.

Sebelum meninggalkan halaman masjid itu, aku menyapa seorang jema'ah masjid, "Assalaamu'alaikum, pak..." "Wa'alaikumsalaam warohmatulloh..." jawabnya fasih. "Maaf pak...saya mau tanya, barangkali Bapak tahu rumahnya Fathiyya?" "Fathiyya yah? Kamu tahu siapa orangtuanya?" "Kalau saya tidak salah, nama bapaknya adalah pak Haji Nashiruddin..." "Bukan Nashiruddin, tapi Nashruddin..." jelasnya. "Iya...maaf pak, itu yang saya maksud..." "Rumahnya deket dari sini. Di pertigaan itu kamu belok kiri. Rumah ketiga disebelah kanan itulah rumahnya..." kata beliau. "Oh terimakasih pak...kalau begitu saya permisi duluan..." jawabku. "Motornya dituntun aja, Mas... Kita jalan kaki aja. Kebetulan bapak pulang ke arah situ juga." lanjutnya. Demi menghormatinya, aku pun menuntun sepeda motorku dan kami berjalan ke arah yang sama. Setelah saya memperkenalkan diri, selama perjalanan kami terlibat pembicaraan seputar kondisi pemuda muslim akhir-akhir ini. Menurut beliau pemuda zaman sekarang sudah jarang sekali yang masih peduli terhadap sholat, apalagi berjama'ah di masjid. "Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang mangaku muslim, tetapi belum bisa baca Al Qur'an dengan baik" tambahnya. Dan aku hanya meng-iya-kan saja karena memang begitu keadaannya.

Tak begitu lama kami pun sampai di depan sebuah rumah. Sederhana, pagarnya pun tidak begitu tinggi sehingga aku bisa melihat pekarangan rumahnya. Tidak banyak perhiasan di halamannya selain rimbunnya tanam-tanaman dan beberapa pohon di sana.
"Di sini tempat tinggal Fathiyya..." ungkap beliau memutus perbincangan kami.
"Oh ya, pak...terimakasih sudah berkenan mengantar saya." jawabku.
Mendengar jawabanku beliau malah berlalu mendekati pintu pagar dan membukanya. "Motornya simpan di dalam aja, Nak 'Ali..." ujarnya. Kontan saja perasaanku tak menentu karena sikap beliau. Tadi bapak ini memanggilku dengan panggilan 'Mas' sekarang beliau malah memanggilku dengan panggilan 'Nak'. Jangan-jangan...??? "Ayo...bawa masuk aja motornya." suara beliau memecah keherananku.
"I..iya..pak..." jawabku dengan suara yang mulai nampak gugup. Beliau kemudian menghampiri pintu rumah itu dan... "Assalaamu'alaikum...! Fathiyya Mas 'Alinya udah dateng nih...!" Perasaanku tak karuan. Aku merasa bahwa sepanjang perjalanan dari masjid tadi aku berbincang dengan seseorang yang namanya salah kuucapkan, Pak Haji Nashruddin, bapaknya Fathiyya...! Tidak lama kemudian terdengar suara lembut dari dalam... "Wa'alaikumsalaam warohmatullah..." Aku mengenal suara lembut itu, sama seperti suara lantunan Al Qur'annya Fathiyya yang kudengar dari ruang sebelah ketika di rumah Ustadz Utsman. Karena di sanalah kami selalu mengadakan 'liqo' (pertemuan). Para ikhwan di ruang depan, sementara para akhwat di ruang tengah. Ya...suara lembut itu, suara Fathiyya. Dari balik jendela bertirai itu aku melihat samar-samar sosok akhwat menuju pintu keluar. Menyalami lalu mencium tangan beliau. "Ayah tumben pulang dari masjidnya lebih awal...?" lanjut akhwat yang ternyata adalah Fathiyya. "Ayah???" hentakku dalam bathin. Benar dugaanku, beliaulah Pak Haji Nashruddin. Dan aku tak ingat lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Karena pikiran dan perasaanku kian tak menentu. Kakiku pun rasanya berat untuk dilangkahkan. Lalu tiba-tiba... "Ayo Nak 'Ali...nuggu apa di situ? Mari masuk...!" kata pak H. Nashruddin mengejutkanku. Singkat cerita, aku sudah berada di ruang tamu rumah itu. Duduk tepat dihadapan Ayahnya Fathiyya. Ada rasa bersalah jika kuingat kejadian di masjid tadi. Hingga aku pun mengutarakan rasa bersalahku... "Saya mohon maaf pak...tadi sewaktu di masjid...saya kira..." "Sudah, sudah...enggak apa-apa!" ucapnya memutus perkataanku yang semakin gugup. "Enggak ada yang salah kok, dan enggak perlu minta maaf..." sambungnya. Namun tetap saja perasaanku tidak enak, ditambah lagi rasa gugup yang menyelimutiku. Sehingga bathinku terus menerus membisikkan do'a, "Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS Thohaa : 25-28) Kami pun mulai berbincang kembali. Ternyata beliaulah yang meminta melalui Fathiyya agar Ustadz Usman menyuruhku datang kerumahnya. Untuk sekedar bershilaturrahiim dan mungkin memastikan keseriusan niat suci kami. Selanjutnya beliau menanyakan tentang asal-usulku juga asal-usul keluargaku. Lalu tentang aktifitas kerjaku dan kesibukkanku yang lainnya. Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba Fathiyya datang dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan itu ada dua gelas minuman yang tampak masih hangat. Baru kali ini aku bisa melihat Fathiyya dari jarak yang cukup dekat. Yaitu saat ia menaruh gelas satu-persatu ke atas meja yang berada diantara aku dan Ayahnya. Kalau boleh jujur sebetulnya Fathiyya tidak begitu cantik kulitnya pun tidak begitu putih. Ia berwajah manis dengan kulit sawo matang. Serta balutan jilbab di tubuhnya membuatnya nampak begitu mempesona. "Ehm ehem...silakan diminum Nak 'Ali..." suara Pak Nashruddin mengalihkan keterpanaanku pada Fathiyya. "O..iya..Pak, makasih..." jawabku terkejut. Kuperhatikan lagi sekilas wajah Fathiyya tersenyum simpul. Mungkin dia menertawakan kegugupanku. Membuat debaran di dalam dadaku kian kencang. Perbincangan pun berlanjut. Kali ini beliau menanyakan kepastianku untuk menunaikan niat suciku pada putrinya. Menggenapkan separuh Dienku bersama putri semata wayangnya, Fathiyya. Hingga akhirnya aku menyatakan diri untuk melamar putrinya. "Bapak sih tergantung Fathiyya. Yang penting, calon imam Fathiyya kelak harus bisa ngaji Al Quran dengan baik dan benar! Supaya dia bisa membimbing Fathiyya menjadi istri yang shalihah. Nah kalau tidak keberatan, Bapak ingin kamu membacakan beberapa ayat saja. Surat Luqman ayat 12 sampai 15." sambil menyerahkan Al Quran cetakan Timur Tengah. Saat ku terima Al Quran dari tangan beliau, desiran kegugupanku semakin kencang. Ia menjalar ke setiap pori-pori di tubuhku. Aku mulai merasakan keringat dingin meliputiku. Mendadak aku lupa surat Luqman urutan ke berapa. Apalagi di Al Quran cetakan Timur Tengah, tidak mencantumkan nomor surat di setiap surat-suratnya. Lembar demi lembar mushafnya kususuri, hingga kutemukan ayat yang dimaksud. QS Luqman ayat 12 - 15. Dengan teliti dan berhati-hati, aku mulai membaca ayat demi ayat yang diminta beliau. Kubaca dengan sepenuh kemampuanku. Huruf demi huruf, tajwid demi tajwid, kubaca sebaik mungkin. Selesai membaca rangkaian ayat tersebut, ku angkat pandanganku dari mushaf ke arah beliau. Kulihat beliau hanya termenung tanpa sedikit pun ekspresi diwajahnya. Sesekali beliau mengangguk-anggukan kepala. Entah apa yang akan dikatakan beliau. "Mmmh...suaranmu bagus! Murottalmu juga enak didengar! Tidak menjenuhkan meskipun bacaannya panjang. Tapi...ada beberapa hal yang harus kamu sempurnakan." Mendengar pernyataan beliau, rasa gugup di dadaku kini mulai menyebar ke arah kepalaku. "MasyaAllah..." ungkapku membathin, ternyata bacaanku belum sempurna menurut beliau. "Pertama...Makhorijul hurufmu kadang meleset. Harus jelas beda antara Syin dan Shod, Dzal dan Dal, Zay dan Zho, Tsa dan Sin, juga huruf yang lainnya..." "Astaghfirullah...seburuk itukah makhorijul hurufku" kataku dalam hati. Hal yang nampak sepele menurutku, tapi justru itu malah jadi kesalahan pertamaku. "Kedua...Mad mu juga tidak istiqomah. Mana Mad Ashli, mana Mad Arid Lisukun. Mad ashli kamu jadikan Mad Jaiz, Mad Arid Lisukun malah kamu jadikan Mad Ashli. Kadang Mad Ashli tidak kamu baca panjang..." Rasa gugup yang menyelimuti kepalaku kini serasa meledak di dalamnya. "Ketiga...ikhfa mu masih ada yang terdengar izhar.Lalu perhatikan mana tanda waqof, mana tanda washol. Teruuus........" Suara beliau kini tak dapat kuperhatikan lagi. Karena ledakkan dalam kepalaku seakan meluluh lantahkan isinya. Keringat dingin pun kian menderas disekitar kerah bajuku. Jasadku mungkin dihadapan beliau, tetapi jiwaku entah kemana, seakan menghindari keadaan yang begitu memalukan menurutku. Dan entah apa lagi yang diucapkan beliau, yang pasti banyak kekurangan yang harus kusempurnakan. "Kamu baik-baik aja, Nak 'Ali...?" tanya beliau menyadarkan aku dari kegalauan. "I...iya...ustadz, eh Pak..." jawabku semakin kacau. "Ya sudah...mungkin kamu lagi kurang enak badan hari ini. Bapak hanya mau menyarankan kamu supaya kamu mau belajar lagi menyempurnakan bacaanmu. Kamu bisa hubungi keponakan Bapak, dia seorang pengajar Al Quran di MAQDIS, ini kartu namanya." kata beliau sambil menyerahkan sebuah kartu nama. Dalam perasaan yang tak dapat lagi kugambarkan itu, aku berusaha meraih kartu nama yang diserahkan beliau. Tapi tanganku terasa berat meraihnya. Kartu nama yang sudah sampai ditanganku pun terasa berat. Lalu kubaca, di sana tertulis nama "Utsman Fathurrahman, S.Ag."! "Ustadz Utsman...?!" ucapku dengan spontan, terkejut. "Ya...Ustadz Utsman, dia putra dari adik sepupu Bapak" jawab beliau. Bukankah Ustadz Utsman itu adalah murobbiku? Dan istrinya adalah murobbi Fathiyya. Ternyata Ustadz Utsman masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Fathiyya. Aku baru tahu. "Kamu mnengenalnya bukan?" tanya beliau. "Iya Pak...saya kenal sekali Ustadz Utsman. InsyaAllah saya akan belajar lebih baik lagi kepada beliau" "Bagus, kalau begitu. Bapak senang melihat pemuda yang semangat dalam mencari ilmu." "Jadi...kapan saya harus kesini lagi Pak...?" tanyaku ingin segera mengakhiri perbincangan. "Untuk apa...?" jawabnya singkat. "Di test ngaji lagi?" "Oh...enggak perlu, untuk apa di test lagi...???" Bagai halilintar di tengah siang, pikiranku meledak lagi. Semua rasa yang tak dapat kugambarkan lagi menyerang seluruh isi ragaku. "Aku ditolak" bisikku dalam bathin. Ingin rasanya aku segera pergi meninggalkan rumah ini. Meninggalkan rasa-rasa yang kubenci ini. Meninggalkan harapan niat suciku bersama Fathiyya. "O iya...titip salam buat orangtuamu, dari kami." lanjut beliau menyadarkan aku. "InsyaAllah..Pak...nanti saya sampaikan." jawabku lirih. "Sampaikan juga pada mereka, kapan bisa shilaturrahim kesini? Untuk memastikan kapan kamu dan Fathiyya melangsukan akad nikah..." Subhanallah...!!! Kali ini entah apa yang aku rasakan. Semua rasa yang menekan ku dari tadi, kini telah sirna begitu saja. Berganti menjadi rasa yang entah bagaimana aku harus menggambarkannya. "Jadi...maksud Bapak...lamaran saya diterima???" tanyaku dengan rasa gugup bercampur gembira."Memangnya siapa yang menolak lamaran kamu, Nak 'Ali...? Bukankah Nabi kita SAW mengingatkan, 'Kalau datang lelaki yang kalian sukai karena agamanya, untuk melamar putri kalian, maka nikahkanlah dia dengan putri kalian tersebut. Kalau kalian tidak menikahkan mereka, niscaya akan terjadi bencana dan kerusakan besar di muka bumi.'. Jadi tidak ada alasan lagi untuk Bapak ataupun Fathiyya menolak lamaran kamu." Alhamdulillah...akhirnya pinanganku diterima. Meskipun dengan bacaan yang belum sempurna menurut beliau. Menuntutku untuk belajar lebih baik lagi. Menyempurnakan lagi bacaanku hingga tiba waktunya kami genapkan separuh Dien kami. Fathiyya...kupinang engkau dengan Al Quran.

PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
Berdasar data statistik penduduk jumlah perempuan di Indonesia sebanyak 50,3% dari total penduduk. Hal ini berarti di Indonesia jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Dengan jumlah perempuan yang demikian besar maka potensi perempuan perlu lebih diberdayakan sebagai subyek maupun obyek pembangunan bangsa. Peranan strategis perempuan dalam menyukseskan pembangunan bangsa dapat dilakukan melalui:
1. Peranan perempuan dalam keluarga
Perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Peranan perempuan dalam Pendidikan
Jumlah perempuan yang demikian besar merupakan aset dan problematika di bidang ketenaga kerjaan. Dengan mengelola potensi perempuan melalai bidang pendidikan dan pelatihan maka tenaga kerja perempuan akan semakin menempati posisi yang lebih terhormat untuk mampu mengangkat derajat bangsa.
3. Peranan perempuan dalam bidang ekonomi
Pertumbuhan ekonomi akan memacu pertumbuhan industri dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kualitas hidup. Di sektor ini perempuan dapat membantu peningkatan ekonomi keluarga melalaui berbagai jalur baik kewirausahaan maupun sebagai tenaga kerja yang terdidik.
4. Peranan perempuan dalam pelestarian lingkungan
Kerusakan lingkungan yang semakin parah karena proses industrialisasi maupun pembalakan liar perlu proses reboisasi dan perawatan lingkunga secara intensif. Dalam hal ini perempuan memiliki potensi yang besar untuk berperan serta dalam penataan dan pelestarian lingkungan
Peluang Wanita Berperan dalam Pendidikan Generasi
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9
bulan. Setelah lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya
sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Inilah aktivitas minimal
yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anaknya (secara langsung). Dalam
keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan
dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa
awal kehidupan anak ini, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya.
Dengan demikian, peran ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses pendidikan
anak, terutama di masa awal perkembangannya. Dan inilah yang menjadi dasar
(basic) pada proses pendidikan selanjutnya.


Seorang anak bagaikan selembar kertas putih bersih tanpa ada coretan (tulisan)
maupun warna. Orang tuanya lah yang berperan menentukan coretan-coretan dan
warna apa yang akan diberikan pertama kali. Dan ini merupakan warna dasar yang
akan menentukan warna apa yang akan diterima/dipilih pada proses pewarnaan
selanjutnya. Kalau pewarnaan dasar telah menghasilkan warna yang khas, maka
warna dasar inilah yang akan menyeleksi warna apa yang akan diterimanya dan
diserap kemudian. Sebaliknya jika warna dasar tidak khas dan tidak jelas, maka
tidak akan ada proses seleksi untuk menerima warna berikutnya. Bisa jadi warna
apapun akan diterima sehingga menjadi warna yang berantakan (tidak khas) dan
hasilnya juga akan kacau. Demikianlah permisalan gambaran tentang proses
pendidikan pada seorang anak dalam rangka membentuk kepribadiannya. Sebab anak
memang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw
:

"Tidak ada seorang anakpun yang baru lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan
suci. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani
atau Musyrik"(HR Muslim).


Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan
secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak , yakni peletak
dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat
dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan
ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya
mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut peran dan
tanggung jawabnya dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas
mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu.

Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih
dalam kandungan). Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam
kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan
janin. Senantiasa berdzikir dan berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan
setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh
terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah
diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa
menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur'an,
sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya.
Sebab kondisi psikologis seorang ibu - menurut pendapat para ahli akan
berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.


Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi
lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika
pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika
ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam 'rekaman kaset kosong'
seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang
pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh
karena itu ibulah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Anehnya, saat ini banyak orang tua yang harus mengikuti kehendak anaknya. Bukan
anak yang mengikuti kehendak orang tuanya. Ini sudah merupakan suatu problema
yang sering muncul di kalangan orang tua saat ini. Bahkan problema ini sudah
tersebar luas di mana-mana. Anak mempunyai keinginan - yang lebih besar
dipengaruhi lingkungannya - yang berbeda dengan keinginan orang tuanya. Bahkan
di aberani menentang orang tuanya demi mewujudkan keinginannya. Hal iniberarti
orang tua telah gagal mengisi kaset kosongnya dan memberi warna dasar pada
kertas putihnya, yang mampu menjadi landasan perkembangan kepribadian anak
serta tolok ukur untuk menyaring informasi dan perilaku serta memilih
warna-warna yang ada di luar rumahnya, mana yang akan diambil dan mana yang
ditolak.

 Peranan Perempuan Di Bidang Kesehatan 
Hasil penelitian menunjukkan, jika seorang bayi berumur kurang dari 3 bulan ditinggal mati ibunya, maka kemungkinan kelangsungan hidup sang bayi hanya sekitar 30 %. Artinya jika seorang ibu meninggal saat bayinya berusia kurang dari 3 bulan maka resiko kematiannya sebesar 70 %. Peran ibu sangat besar artinya, karena dari rahim ibu lahir putra-putri bangsa.

Sebuah istilah menyebutkan bahwa "membangun ibu adalah membangun bangsa, tetapi membangun bapak adalah membangun dirinya sendiri". Apa benar? Karena itu, kesehatan dan keselamatan ibu harus menjadi prioritas utama. Setelah itu, ibu yang bertanggung jawab dalam merawat dan menjaga bayinya agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan kuat.

Kenyataannya, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi, lebih dari 300 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini memang terus mengalami penurunan dengan perbaikan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil, tetapi masih jauh dari angka yang diharapkan. AKI yang diharapkan pada tahun 2010 adalah sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup.

Penyebab kematian ibu melahirkan itu pada dasarnya adalah kurang perawatan dalam masa kehamilan, kurang pedulinya ibu hamil akan kondisi kehamilannya, yang berarti kurangnya perhatian kaum perempuan untuk keselamatan dirinya sendiri dan bayi yang akan dilahirkannya, sehingga angka kejadian perdarahan selama kehamilan dan persalinan cukup tinggi (sekitar 28 %).

Ada beberapa sebab yang tidak langsung tentang masalah kesehatan ibu, yakni pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan masih rendah. Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari bahwa ibu hamil termasuk kelompok risiko tinggi.

Ibu hamil memiliki risiko 50% dapat melahirkan dengan selamat dan 50% dapat mengakibatkan kematian.
Ada "4 terlalu" dalam melahirkan, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak. Juga ada "4 terlambat", yaitu terlambat mengenali tanda-tanda kelainan persalinan, terlambat mengambil keputusan, terlambat untuk dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat rujukan.

Yang sangat mengecewakan dari peranan kaum perempuan yang selalu menuntut persamaan hak di negara kita ini adalah sangat rendahnya jumlah ibu yang memberi ASI secara eksklusif kepada bayinya sampai berumur enam bulan. Hal itu terjadi karena pengetahuan ibu tentang pentingnya ASI masih rendah, tatalaksana bagian persalinan rumah sakit yang belum optimal, banyaknya ibu yang mempunyai pekerjaan di luar rumah dan peranan kaum perempuan masih kurang dalam mensosialisasikan penggunaan ASI.

Hingga saat ini, beberapa rumah sakit dan rumah bersalin masih memberi susu formula pada bayi yang baru lahir, bukan inisiasi ASI dini. Padahal pemberian ASI eksklusif kepada bayi akan meningkatkan kekebalan tubuh sang bayi dan memberi perlindungan dari penyakit infeksi yang mematikan. Kebutuhan protein diawal kehidupan akan terpenuhi, diharap dengan penambahan makanan pendamping ASI sesuai pertambahan umur dapat mencegah kekurangan gizi apalagi gizi buruk.

PERAN DAN TUGAS PEREMPUAN DALAM KELUARGA
Wanita (seorang ibu) itu adalah mengurus di dalam rumah suaminya dan mendidik putra-putrinya (Al Hadist Syarif)

Peran dan tugas perempuan  dalam keluarga secara garis besar dibagi menjadi peran wanita sebagai ibu, ibu sebagai istri, dan anggota masyarakat. Dalam kesempatan kali ini pembicaraan lebih ditekankan pada tugas perempuan dalam membina kesehatan mental bagi dirinya, keluarganya maupun masyarakatnya. Agar dapat melakukan peran atau tugasnya dengan baik, maka perlu dihayati benar mengenai sasaran dan tujuan dari peran itu.
            Di samping itu, perempuan harus menguasai cara atau teknik memainkan peran atau melaksanakan tugasnya, disesuaikan dengan setiap situasi yang dihadapinya. Sebagai ibu, pendidik anak-anak perempuan harus mengetahui porsi yang tepat dalam memberikan kebutuhan-kebutuhan anaknya, yang disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Sikap maupun perilakunya harus dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Sebagai seorang istri, wanita harus menumbuhkan suasana yang harmonis, tampil bersih, memikat dan mampu mendorong suami untuk hal-hal yang positif. Sebagai anggota masyarakat, wanita diharapkan peran sertanya dalam masyarakat.
            Keberhasilan melakukan peran di atas, tentunya bukan merupakan hal yang mudah, yang penting adalah kemauan dan usaha untuk selalu belajar.
PERAN WANITA DALAM MASYARAKAT
            Secara kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya dengan manusia lain. Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan individu lain merupakan suatu usaha manusi untuk memenyhi kebutuhan sosialnya. Dari hubungan antar pribadi ini, tumbuhlah perasaan diterima, ditolak, dihargai-tidak dihargaidan diakui-tidak diakui. Di samping itu dari hubungan antar pribadi ini, manusia dapat lebih mengenal dirinya sendiri, banyak mendapatkan penilaian dan memberikan penilaian. Bergaul dengan individu lain,
membuka kesempatan bagi wanita untuk dapat menyatakan diri dan mengembangkan kemampuannya.
            Suatu kenyataan bahwa dewasa ini keikut-sertaan wanita dalam mencapai tujuan pembangunan sangat diharapkan. Berbagai peran dan tugas ditawarkan bagi wanita, dalam hal ini tentunya kita harus selalu selektif jangan sampai terkecoh sehingga lupa pada kodratnya.
            Dalam hubungan antar pribadi (pergaulan) masing-masing individu diberi kesempatan untuk mengembangkan pribadinya agar dapat mendekati sempurna. Wanita, dalam bergaul memperoleh banyak kesempatan untuk menghayati proses sosialisasi itu, baik sebagai subjek atau objek dalam kehidupan bersama.
            Sehubungan dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan individu lain, Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan silaturahmi sebagai usaha untuk mempererat persaudaraan dengan sesama umat. Dari silaturahmi inilah awal tumbuhnya Ukhuwah Islamiyah, yang merupakan suatu cara untuk mencapai terwujudnya masyarakat Islam yang bersatu. Keberhasilan kita dalam menciptakan suasana yang harmonis dalam masyarakat pada umumnya, maupun sesama muslim pada khususnya dapat ditentukan oleh kemampuan untuk memberikan kasih sayang, menghindarkan diri dari sifat kasar, dengki, fitnah, dan saling curiga mencurigai. Di samping itu pergaulan kita dengan individu lain ditentukan oleh:
  1. Pengertian bahwa tiap individu mempunyai kepribadian tertentu, yang unik dan hanya dimiliki oleh individu tersebut.
  2. Pengertian bahwa tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan individu lain, hal ini akan mendasari perilakunya.
  3. Kemampuan kita untuk mengerti perasaan orang lain, toleran, dan penuh pengertian.
  4. Sikap untuk menghargai orang lain sebagai suatu pribadi dan tidak terlalu mementingkan diri kita sendiri.
Peranan wanita Dalam era Globalisasi
Siapa yang tidak tahu Raden Ajeng Kartini? Tentu semua orang mengenal beliau. Beliau adalah seoarang pejuang wanita, yang memperjuangkan hak-hak wanita yang terinjak-injak karena dianggap lemah, tidak bisa apa-apa, dan tidak berdaya dibandingkan kaum pria. Oleh karena perjuangannya, kini para kaum wanita dapat bersekolah dengan baik, dapat melakukan banyak kegiatan dan tidak lagi dianggap lemah. Untuk selalu mengenang jasa-jasanya diadakanlah Hari Kartini yang diperingati setiap tangal 21 April. Jika dulu peranan wanita adalah sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak kaumnya, apakah peranan wanita di dalam era globalisasi yang modern ini?
Menurut Susi, salah seorang guru wanita di Sekolah Menengah Pertama Negeri Satu Denpasar, peranan wanita dalam era globalisasi ini sangat banyak. Banyak pekerjaan yang dilakukan oleh wanita sekarang ini sama dengan pekerjaan kaum pria contohnya jika dulu seorang pemimpin haruslah pria, maka sekarang wanita pun bisa menjadi pemimpin. Buktinya banyak wanita yang menjadi kepala desa, kepala camat, bahkan menjadi pejabat. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh wanita selain menjadi Ibu Rumah Tangga. Wanita pun dapat melakukan hal-hal atau pekerjaan-pekerjaan yang sama dengan pria, namun tetap dalam batasan-batasan yang pantas. Maksudnya, tetap ada pekerjaan atau hal-hal yang dilakukan kaum adam yang tidak bisa digantikan posisinya oleh wanita. Contohnya saja kepala keluarga. Meskipun dalam pekerjaannya seorang wanita menjadi kepala daerah atau berpenghasilan lebih tinggi dari suaminya, di dalam keluarga sang suami tetaplah menjadi kepala keluarga. Karena wanita diciptakan untuk melayani suaminya. Tetapi dalam hal mendidik anak-anaknya, hak dan kewajiban keduanya adalah sama.
Lalu, bagaimana kedudukan wanita yang sebenarnya? Menurut wanita kelahiran Buleleng, 22 November 1960 ini, kedudukan wanita di Indonesia sudah diangkat dan sudah dilakukan pemberdayaan wanita. Sudah ada Undang Undang Anti Kekeransan terhadap wanita. Sudah terbentuk lembaga-lembaga yang membela hak-hak wanita. Meskipun sudah diangkat, namun usaha-usaha tersebut masih belum maksimal. Mengapa dikatakan belum maksimal? Karena masih banyak terjadi kekerasan terhadap kaum hawa. Contohnya penyiksaan suami terhadap istrinya, penyikasaan TKW (Tenaga Kerja Wanita) oleh majikannya. Hanya karena menjadi pembantu rumah tangga, ia deperlakukan sebagai seorang yang hina. Padahal di zaman yang sudah serba modern ini, jika tidak ada wanita-wanita yang bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga), lalu siapa yang membantu mengurus dan merawat rumah jika seandainya pekerjaan kita menyita waktu terlalu banyak. Oleh karena itu diperlukan pembenahan tidak hanya dalam Undang-undang, tetapi juga kesadaran masyarakat. Wanita sekarang memang sudah dapat bekerja dan melakukan banyak kegiatan. Tetapi apakah baik jika wanita bekerja? Boleh saja wanita bekerja, tetapi tetap dalam batas dan tidak mengabaikan tugasnya sebagai Ibu Rumah Tangga. Guru yang mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia ini mengatakan, ia bekerja hanya setengah hari. Jika ada pekerjaan tambahan paling-paling pulang pukul 15.00. Setelah pulang dari sekolah, beliau membersihkan rumah, memasak untuk keluarga, mencuci baju dan membereskan pekerjaan rumah lainnya. Sebelum berangkat ke sekolah, subuh-subuh benar beliau sudah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, jadi beliau tetap dapat bekerja meski harus mengurus keluarga.
Lalu mana yang lebih penting, keluarga atau pekerjaan? Untuk hal ini, beliau mengatakan bahwa kedua-duanya sama pentingnya. Pekerjaan dibutuhkan untuk menghidupi keluarga, sedangkan tanpa keluarga, hidup terasa hampa meski pun memiliki banyak uang. Sedangkan tanggapan keluarga tentang beliau yang bekerja dikatakan tidak masalah. Keluarga bisa mengerti dan memahami kebutuhan dan kesenangan beliau dalam bekerja.
Dilihat dari hal-hal di atas, dapat dikatakan bahwa wanita memiliki peran yang sangat besar dalam era globalisasi. Bahkan kita pernah memiliki presiden yang adalah seorang wanita. Hal ini membuktikan, seiring berjalannya waktu dan arus globalisasi semakin meluas dan berpegaruh, tidak cukup hanya dengan tenaga pria, dibutuhkan juga tenaga wanita. Wanita ada bukan hanya untuk diam di rumah melakukan pekrjaan rumah, tetapi juga ada untuk membantu dan melengkapi apa yang terkadang tidak bisa dilakukan oleh pria juga untuk membuktikan bahwa wanita bisa berkreasi dan bekerja layaknya seorang pria, tetapi semua itu tetap dibatasi dalam batasan yang wajar, jangan sampai karena sibuk bekerja keluarga ditelantarkan. Sebagai kaum wanita, harus bisa menunjukan kemampuannya baik dalam keluarga, juga di dalam kehidupan masyarakat. Karena umumnya wanita itu lebih teliti, rapi, cermat, dan penuh perhitungan dalam segala hal.